Friday, October 15, 2010

Tahapan Dakwah Islamiyah Dalam Kehidupan Rasulullah saw



(Sirah nabawiyah)
Dakwah Islamiyah di masa hidup Nabi saw, sejak bi’tsah hingga wafatnya menempuh Empat Tahapan :
Pertama :
Dakwah secara rahasia, selama tiga tahun.
Kedua :
Dakwah secara terang-terangan dengan menggunakan lisan saja tanpa perang, berlangsung sampai hijrah.
Ketiga :
Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi orang-orang yang menyerang dan memulai peperangan atau kejahatan. Tahapan ini berlangsung sampai tahun perdamaian Hudaibiyah.
Keempat :
Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi setiap orang yang menghalangi jalannya dakwah atau menghalangi orang yang masuk Islam. Setelah masa dakwan yang pemberitahuan dari kaum musyrik, anti agama atau penyembah berhala . Pada tahapan inilah syariat Islam dan hukum jihad dalam Islam mencapai kemapanan.
DAKWAH SECARA RAHASIA
Nabi saw mulai menyambut Allah swt dengan mengajak manusia untuk menyembah Allah swt semata dan meninggalkan berhala. Tetapi dakwah Nabi ini dilakukan secara rahasia untuk menghindari tindakkan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan peganimismenya. Nabi saw tidak menampakkan dakwah di majelis-majelis umum orang-orang Quraisy, dan tidak melakukan dakwah kecuali kepada orang yang memiliki hubungan kerabat atau kenal baik sebelumnya.
Orang-orang yang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib, Zaib bin Haritza mantan budak Rasulullah saw, dan anak angkatnya, Abu Bakar bin Abi Qufahah, Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lainnya.
Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila salah seorang di antara mereka ingin melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekkah seraya bersembunyi dari pandangan orang-orang Quraisy.
Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah saw memilih rumah salah seorang dari mereka, yaitu rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, seebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah pada tahapan ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut Islam. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.
Beberapa Pelajaran
1. Sebab Sirriyah pada permulaan dakwah Rasulullah saw.
Tidak diragukan lagi, bahwa kerahasiaan dakwah Nabi saw selama tahun-tahun pertama ini bukan karena kekhawatiran Nabi saw terhadap dirinya. Sebab, ketika beliau dibebani dakwah dan diturunkan kepadanya firman Allah swt :
“ Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berikanlah peringatan", beliau sadar, bahwa dirinya adalah utusan Allah swt kepada manusia. Karena itu beliau yakin bahwa Allah swt yang mengutus dan membebaninya dengan tugas dakwah ini mampu melindungi dan menjaganya dari gangguan manusia. Kalau Allah swt memerintahkan agar melakukan dakwah secara terang-terangan sejak hari pertama, niscaya Rasulullah saw tidak akan mengulur waktu sedetikpun, sekalipun harus menghadapi resiko kematian.
Tetapi Allah swt memberikan ilham kepadanya, dari ilham kepada Nabi saw adalah semacam wahyu kepadanya, agar memulai dakwah pada tahapan awal dengan rahasia dan tersembunyi, dan agar tidak menyampaikan keculai kepada orang yang telah diyakini akan menerimanya. Ini dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan bagi para da’i sesudahnya agar melakukan perencanaan secara cermat dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah. Tetapi hal ini tidak boleh mengurangi rasa tawakal kepada Allah swt semata, dan tidak boleh dianggap sebagai faktor-faktor yang paling menentukan . Sebab hal ini akan merusak prinsip keimanan kepada Allah swt, di samping bertentangan dengan tabiat dakwah kepada Islam.
Dari sini diketahui bahwa uslub dakwah Rasulullah saw pada tahapan ini merupakan Siyasah syari’ah (kebijaksanaan) darinya sebagai imam, bukan termasuk tugas-tugas tablighnya dari Allah swt sebagai seorang Nabi.
Berdasarkan hal itu, maka para pimpinan dakwah Islamiyah pada setiap masa boleh menggunakan keluwesan dalam cara berdakwah, dari segi Sirriyah dan Jariyah atau kelemahlembutan dan kekuatan, sesuai dengan tuntutan keadaan dan situasi masa di mana mereka hidup. Yakni keluwesan yang ditentukan oleh syari’at Islam berdasarkan kepada realitas Nabi saw, sesuai dengan empat tahapan yang telah disebutkan , selama tetap mempertimbangkan kemashlahatan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah pada setiap kebijaksanaan yang diambilnya. Oleh karena itu Jum hur Fuqaha sepakat jika jumlah kaum Muslim sedikit atau lemah posisinya, sehingga diduga keras mereka akan dibunuh oleh para musuhnya tanpa kesalahan
apapun bila para musuh itu telah bersepakat akan membunuh mereka, maka dalam keadaan seperti ini harus didahulukan kemashlahatan menjaga atau menyelamatkan jiwa, karena kemashlahatan menjaga agama dalam kasus seperti ini belum dapat diapstikan.
Al’Izzu bin Abdul Salam menyatakan keheranan melakukan jihad (perang) dalam kondisi seperti ini : „..Apabila tidak terjadi kerugian, maka wajib mengalah (tidak melakukan perlawanan), karena (perlawanan dalam situasi seperti ini) akan mengakibatkan hilangnya nyawa, di samping menyenangkan orang-orang kafir yang menghinakan para pemeluk agama Islam. Perlawanan seperti ini menjadi mafsadah (kerugian) semata, tidak mengandung maslahat.“
Saya berkata :“ Mendahulukan kemaslahatan jiwa di sini hanya dari segi lahiriyah saja. Akan tetapi pada hakekatnya juga merupakan kemaslahatan agama. Sebab kemaslahatan agama (dalam situasi seperti ini) memerlukan keselamatan nyawa kaum Muslimin agar mereka dapat melakukan jihad pada medan-medan lain yang masih terbuka. Jika tidak , maka kehancuran mereka dianggap sebagai ancaman terhadap agama itu sendiri, dan pemberian peluang kepada orang-orang kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup.
Singkatnya , wajib mengadakan perdamaian atau merahasiakan dakwah apabila tindakan menampakkan dakwah atau perang itu akan membahayakan dakwah Islamiyah. Sebaliknya tidak boleh merahasiakan dakwah apabila bisa dilakukan dengan cara terangterangan dan akan memberikan faidah. Tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orang-orang yang dzalim dan memusuhi dakwah, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan pertahanan. Juga tidak boleh berhenti memerangi orang-orang kafir di negeri mereka, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan sarana untuk melakukannya.
2. Orang-orang yang Pertama Masuk Islam dan Hikmahnya.
Sirah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang masuk Islam para marhala (tahapan) ini kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang fakir, lemah dan kaum budak. Apa hikmah dari kenyataan ini ? Apa rahasia tegakknya Daulah Islamiyah di atas pilar-pilar yang terbentuk dari orang-orang seperti mereka ini ?
Jawabannya, bahwa fenomena ini merupakan hasil alamiah dari dakwah para Nabi pada tahapannya yang pertama. Tidakkah anda perhatikan bagaimana kaum Nuh mengejeknya karena orang-orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang kecil?
„Kami tidak melihat kamu , melainkan (sebagain seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja .... „ (QS Huud : 27)
Tidakkah anda perhatikan bagaimana Fir’aun dan para pendukungnya memandang rendah para pengikut Musa as sebagai orang-orang yang tertindas sampai Allah swt menyebutkan mereka setelah menceritakan kehancuran Fir’aun dan para pendukungnya ?
Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah kami beri berkah padanya............(QS Al-A’raaf : 37)
Tidakkah anda perhatikan bagaimana kelompok elite kaum Tsamud menolak Nabi Shaleh , dan hanya orang-orang tertindas di antara mereka yang mau beriman kepadanya, hingga Allah swt mengatakan tentang mereka di dalam firman-Nya :
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya Berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang Telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?". mereka menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu". (QS al-A’raaf : 75-76)
Sesungguhnya hakekat agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah swt ialah menolak kekuasaan dan pemerintahan manusia , dan kembali kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah swt semata. Hakekat ini terutama sekali bertentangan dengan „ketuhanan“ orang-orang yang mengaku sebagai „tuhan“. Dan kedaulatan orang-orang yang mengaku berdaulat. Dan terutama sekali , sesuai dengan keadaan orang-orang yang tertindas dan diperbudak. Sehingga reaksi penolakan terhadap ajakan untuk berserah diri kepada Allah swt semata datang terutama dari orang-orang yang mengaku berdaulat tersebut. Sementara orangorang yang tertindas menyambut dengan baik.
Hakekat ini nampak dengan jelas dalam dialog yang berlangsung antara Rustum, komandan tentara Persia pada perang al-Qadisiyah , dan Rabi’ bin Amir, seorang prajurit biasa di jajaran tentara Sa’ad bin Abi Waqqash. Rustum berkata kepadanya :“Apa yang mendorong kalian memerangi kami dan masuk ke negeri kami?“ Rabi’ bin Amir berkata :“ kami datang untuk mengeluarkan siapa saja dari penyembahan manusia kepada penyembahan Allah swt semata“. Kemudian melihat barisan manusia di kanan dan kiri Rustum tunduk dan ruku’ kepada Rustum,
Rabi’ bin Amir berkata dengan penuh keheranan,“Selama ini kami mendengar tentang kalian hal-hal yang mengagumkan, tetapi aku tidak melihat kaum yang lebih bodoh dari kalian. Kami kaum Muslimin tidak saling memperbudak antara satu dengan lainnya. Aku mengira bahwa kalian semua sederajat sebagaimana kami. Akan tetapi lebih baik dari apa yang kalian perbuat jika kalian jelaskan kepadaku bahwa sebagian kalian menjadi tuhan bagi sebagian yang lain.
“Mendengar ucapan Rubi’ bin Amir ini orang-orang yang tertindas antara mereka saling berpandangan seraya berguman,“ Demi Allah swt, orang Arab ini benar.“ Tetapi bagi para pemimpin , ucapan Rubi’ bin Amir ini ibarat geledek yang menyambut mereka, sehingga salah seorang di antara mereka berkata :“ Dia telah melemparkan ucapan yang senantiasa dirindukan oleh para budak kami.“
Tetapi ini tidak berarti bahwa keislaman orang-orang yang tertindas itu tidak bersumber dari keimanan, bahkan bersumber dari kesadaran dan keinginan untuk bebas dari penindasan dan kekuasaan para tiran. Sebab baik para tokoh Quraisy maupun kaum tertindasnya sam-sama berkewajiban mengimani Allah swt semata, dan membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad saw. Tidak seorang pun dari mereka kecuali mengetahui kejujuran Nabi saw dan kebenaran apa yang disampaikan dari Rabb-Nya. Kaum elite dan para tokoh tidak tunduk dan mengikuti Nabi saw karena dihalangi oleh faktor gengsi kepemimpina mereka. Contoh yang paling nyata adalah pamannya, Abu Thalib. Sedangkan kaum tertindas dan lemah dengan mudah mau menerimannya dan mengikuti Nabi saw, karena mereka tidak dihalangi oleh sesuatu apapun. Di samping bahwa keimanan kepada Uluhiyah Allah swt akan menumbuhkan rasa izzah (wibawa) pada diri seseorang, dan menghapuskan rasa gentar kepada kekuatan selain dari kekuatan-Nya.Perasaan yang merupakan buah keimanan kepada Allah swt ini , pada waktu yang sama, memberikan kekuatan baru dan menjadikan pemiliknya merasakan kebahagiaan.
Dari sini kita dapat mengetahui besarnya kebohongan yang dibuat oleh para musuh Islam di masa sekarang. Ketika mereka mengatakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammad saw hanyalah berasal dari inspirasi lingkungan Arab tempat ia hidup. Dengan kata lain, dakwah Muhammad saw hanya mencerminkan gerakan pemikiran Arab di masa itu.
Seandainya demikian, hasil dakwah selama tiga tahun tersebut tidak hanya berjumlah empat puluh orang lelaki dan wanita. Dan kebanyakan mereka adalah kaum fakir, tertindas dan budak. Bahkan ada yang berasal dari negeri asing, yaitu Shuhaub ar-Rumi dan Bilil al-Habasyi.
Pada pembahasan mendatang akan anda ketahui bahwa lingkungan Arab itu sendirilah yang justru memaksa Nabi saw untuk melakukan hijrah dari negerinya dan memaksa pengikutnya berpencar-pencar, bahkan pergi hijrah ke Habasyiah. Ini semua karena kebencian lingkungan tersebut terhadap dakwah yang mereka tuduh sebagai nasionalis Arab.
DAKWAH SECARA TERANG TERANGAN
Ibnu Hisyam berkata : „Kemudian secara berturut-turut manusia, wanita danlelaki, memeluk Islam, sehingga berita Islam tersiar di Mekkah dan menjadi bahan pembicaraan orang. Lalu Allah swt memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan Islam dan mengajak orang kepadanya secara terang-terangan, setelah selama tiga tahun Rasulullah saw melakukan dakwah secara sembunyi, kemudian Allah swt berfirman kepadanya :
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS Al-Hijr : 94)
„Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yangmengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.“ (QS asy-Syu’ara : 214-215)
„Dan katakanlah „Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan.“ (QS al-Hijr: 89)
Pada waktu itu pula Rasulullah saw segera melaksanakan perintah Allah swt.  Kemudian menyambut firman Allah swt: (dalam QS Al-Hijr: 94 tersebut diatas)  dengan pergi ke atas bukit Shafa lalu memanggil,“Wahai Bani Fihr, wahai bani ‘adi,“ Sehingga mereka berkumpul dan orang yang tidak bisa hadir mengirimkan orang untuk melihat apa yang terjadi. Maka Nabi Muhammad saw berkata :“Bagaimanakah pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku ?“
Jawab mereka :“ Ya, kami belum pernah melihat kamu berdusta.“ Kata Nabi saw :“ Ketehuilah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih“. Kemudian Abu Lahab memprotes,“Sungguh celaka kamu sepanjang hari , hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami.“ Lalu turunlah firman Allah swt :
„Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS Al-Lahab : 1)
Kemudian Rasulullah saw turun dan melaksanakan firman Allah swt, “ Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat,“ (QS asy-Syu’ara : 214-215) dengan mengumpulkan semua keluarga dan kerabatnya lalu berkata kepada mereka, „Wahai Bani Ka’b bin Lu’au, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai bani Murrah bin Ka’ab , selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdi Syams, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdul Muththalib, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Sesungguhnya, aku tidak akan dapat membela kalian di hadapan Allah swt, selain bahwa kalian mempunyai tali kekeluargaan yang akan aku sambung dengan hubungannya”.
Dakwah Nabi saw , secara terang-terangan ini ditentang dan ditolak oelh bangsa Quraisy, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan agama ynag telah mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan mereka. Pada saat itulah Rasulullah saw mengingatkan mereka akan perlunya membebaskan pikiran dan akal mereka dari belenggu taqlid. Selanjutnya dijelaskan oleh Nabi saw bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu tidak dapat memberi faidah atau bahaya sama sekali. Dan bahwa turun-temurun nenek moyang mereka dalam menyembah tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengikuti mereka secara taqlid buta. Firman Allah swt menggambarkan mereka :
„Dan apabila dikatakan kepada mereka,“Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah swt,“ mereka menjawab,“ (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.“ (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupaun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu pun dan tidak mendapat petunjuk ?“ (QS al-Baqarah : 170)
Ketika Nabi saw mencela tuhan-tuhan mereka, membodohkan mimpi-mimpi mereka, dan mengecam tindakan taqlid buta kepada nenek moyang mereka dalam menyembah berhala, mereka menentangnya dan sepakat untuk memusuhinya, kecuali pamannya Abu Tahlib yang membelanya.
Beberapa Pelajaran
Pada bagian Sirah Nabi saw ini terdapat tiga hal yang penting untuk di catat :
Pertama , sesungguhnya Rasulullah saw ketika menyampaikan dakwah Islam secara terang-terangan kepada bangsa Quraisy dan bangsa Arab pada umumnya, mengejutkan mereka dengan sesuatu yang tidak pernah mereka pikirkan atau asing sama sekali. Ini secara jelas nampak dalam reaksi Abu Lahab terhadapnya, dan kesepakatan tokoh-tokoh Quraisy untuk memusuhi dan menentangnya.
Hal ini kiranya cukup menjadi jawaban telak bagi orang-orang yang berusaha menggambarkan syariat Islam sebagai salah satu buah nasionalisme Arab, dan menganggap Nabi saw dengan dakwah yang dilakukannya sebagai mencerminkan idealisme dan pemikiran Arab pada masa itu.
Bagi pengkaji Sirah Nabawiyah tidak perlu menyusahkan diri untuk menyanggah atau mendiskusikan tuduhan-tuduhan lucu itu. Sebenarnya orang-orang yang melontarkan tuduhan itu sendiri mengetahui kenaifan dan kepalsuannya. Tetapi betapapun tuduhan-tuduhan tersebut, dalam pandangan mereka , harus dilontarkan guna menghancurkan Islam dan pengaruhnya. Tidaklah penting bahwa tuduhan tersebut harus benar. Yang penting bahwa kepentingan dan tujuan mereka memerlukan pengelabuhan seperti itu.
Kedua, sebenarnya bisa saja Allah swt tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk memberi peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya secara khusus, karena sudah cukup dengan keumumam perintah-Nya yang lain, yaitu firman-Nya :“ Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu.“ Perintah ini sudah mencakup semua anggota keluarganya dan kerabatnya. Lalu apa hikmah dikhususkan perintah untuk memberi peringatan kepada keluarganya ini ?
Jawabannya, bahwa ini merupakan isyarat kepada beberapa tingkat tanggungjawab yang berkaitan dengan setiap Muslim pada umumnya, dan para da’i pada khususnya. Tingkat tanggung jawab yang paling rendah ialah tanggung jawab seseorang terhadap dirinya sendiri. Karena mempertimbangkan penumbuhan tingkat tanggung jawab ini, maka rentang waktu permulaan wahyu berlangsung sekian lama. Yakni sampai Muhamad saw mantap dan menyadari bahwa ia seorang Nabi dan Rasul dan bahwa apa yang diturunkan kepadanya adalah wahyu dari Allah swt yang harus diyakininya sendiri terlebih dahulu, dan mempersiapkan dirinya untuk menerima prinsip , sistem, dan hukum yang akan diwahyukan.
Tingkatan berikutnya ialah tanggung jawab seorang Muslim terhadap keluarga dan kerabat dekatnya. Sebagai pengarahan kepada pelaksanaan tanggung jawab ini, Allah swt secara khusus memerintahkan Nabi-Nya agar memberi peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya, setelah perintah bertabligh secara umum. Tingkat tanggungjawab ini merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki keluarga dan kerabat. Tidak ada perbedaan antara dakwah Rasul kepada kaumnya dan dakwah seorang Muslim kepada keluarganya. Hanya saja, yang pertama berdakwah kepada syariat baru yang diturunkan Allah swt kepadanya, sementara yang kedua berdakwah dengan dakwah Rasul. Sebagaimana Nabi atau Rasul tidak boleh untuk tidak menyampaikan dakwah kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Bahkan ia wajib memaksa keluarganya untuk melaksanakannya, maka demikian pula halnya seorang Muslim terhadap keluarganya dan kerabat dekatnya.
Tingkat ketiga ialah tanggung jawab seorang ‘alim terhadap kampung atau negerinya, dan tanggung jawab seorang penguasa terhadap negara dan kaumnya. Masing-masing dari keduanya menggantikan tanggung jawab Rasulullah saw, karena keduanya merupakan pewaris Rasulullah saw secara syariat, sebagaimana sabda beliau :“ Ulama adalah pewaris para Nabi.“ Selain itu, Imam dan penguasa juga disebut Khalifah (pengganti) , yakni pengganti Rasulullah saw.
Tetapi seorang imam dan penguasa dalam masyarakat Islam, diharuskan memiliki ilmu. Sebab tidak ada perbeda-an antara tabiat tanggung jawab yang diemban Rasulullah saw dan tanggung jawab yang diembang oleh para ulama dan penguasa. Bedanya bahwa Rasulullah saw menyampaikan syariat mereka mengikuti jejak Rasulullah saw dan berpegang teguh dengan Sunnah dan Sirahnya dalam apa yang mereka lakukan dan sampaikan.
Jadi , sebagai seorang mukluk Allah swt, Nabi saw bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sebagai pemilik keluarga dan kerabat, Nabi saw bertanggung jawab kepada keluarga dan kerabatnya. Dan sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah swt, beliau bertanggung jawab terhadap semua umat manusia.
Demikian pula halnya dengan diri kita, baik sebagai seorang mukallaf , pemilik keluarga, ataupun ulama. Dan seorang penguasa memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana Nabi saw.
Ketiga, Rasulullah saw mencela kaumnya karena mereka menjadi „tawanan“ tradisi nenek moyang mereka tanpa berpikir lagi tentang baik dan buruknya. Kemudian Rasulullah saw mengajak mereka untuk membebaskan akal mereka dari belenggu taqlid buta dan fanatisme terhadap tradisi yang tidak bertumpu di atas landasan pemikiran dan logika sehat.
Hal ini menjadi dalil bahwa agama ini termasuk masalah keyakinan dan hukum bertumpu di atas akal dan logika. Karena itu, di antara syarat terpenting kebenaran iman kepada Allah swt dan masalah-masalah keyakinan yang lain ialah, bahwa keimanan tersebut harus didasarkan kepada asas keyakinan dan pemikiran yang bebas, tanpa dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi sama sekali. Sehingga pengarang kitab Jauharatut Tauhid mengatakan :
„Setiap orang yang bertaqlid dalam masalah tauhid keimanannya tidak terbebas dari keraguannya„
Dari sini dapat anda ketahui bahwa Islam datang untuk memerangi tradisi dan melarang masuk ke dalam jeratnya. Sebab semua prinsip dan hukum Islam didasarkan pada akal dan logika yang sehat. Sementara itu, tradisi di dasarkan pada dorongan ingin mengikuti semata tanpa ada unsur seleksi dan pemikiran. Kata tradisi dalam bahasa Arab berarti sejumlah kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun, atau yang berlangsung karena faktor pergaulan dalam suatu lingkungan atau negeri, dimana taqlid semata merupakan penopang utama bagi kehidupan kesinambungan tradisi tersebut.
Semua pola kehidupan yang dibiasakan manusia, seperti beberapa permainan pada saat-saat kegembiraan, atau berpakaian hitam pada saat kesusahan dan kematian, yang bertahan secara turun-temurun karena faktor pewarisan atau transformasi melalui pergaulan, dalam istilah bahasa dan ilmu sosial disebut tradisi.
Dengan demikian, Islam sama sekali tidak mengandung unsur tradisi, baik yang berkaitan dengan aqidah , hukum atau sistem. Karena aqidah di dasarkan pada landasan akal dan logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi.
Kemaslahatan ini tidak dapat diketahui kecuali melalui pemikiran dan perenungan, kendatipun oleh sebagian akal manusia tidak dapat diketahui karena sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan orang-orang yang mengistilahkan peribadahan, hukum-hukum, syariat dan akhlak Islam dengan tradisi Islam. Sebab, per-istilahan yang dzalim ini akan memberikan konotasi bahwa perilaku dan akhlak Islam tersebut bukan karena statusnya sebagai prinsip Ilahi yang menjadi factor kebahagiaan manusia, tetapi sebagai tradisi lama yang diwarisi turun-temurun. Tentu saja istilah ini pada gilirannya akan menimbulkan rasa enggan pada kebanyakan orang untuk menerima warisan lama yang ingin ditetapkan kepada masyarakat yang serba berkembang dan maju ini.
Sesungguhnya penyebutan hukum-hukum Islam dengan istilah tradisi Islam bukan merupakan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi merupakan mata rantai penghancuran Islam dengan istilah-istilah menyesatkan.
Tujuan utama dari pemasaran tradisi Islam ini ialah agar semua sistem dan hukum Islam dipahami sebagai tradisi. Sehingga setelah makna tradisi ini terkait dengan sistem-sistem dan hukum-hukum Islam selama masa sekian lama dalam benak manusia, dan mereka lupa bahwa sistem-sistem tersebut pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip yang di dasarkan pada tuntutan akal sehat, maka menjadi gampanglah bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam melalui „pintu“ yang telah dipersiapkan tersebut.
Tidak diragukanlagi , jika kaum Muslim telah menyadarai semua prinsip dan hukum Islam, seperti masalah pernikahan dan thalaq, jilbab wanita, serta semua perilaku dan akhlak Islam sebagai tradisi maka wajar, saja jika kemudian muncul orang yang mengajak kepada penghancuran tradisi dan pembebasan diri dari ikatannya, terutama pada abad di mana kebebasan pendapat dan berpikir sangat dominan.
Tetapi sesungguhnya tidak ada tradisi dalam Islam. Islam adalah agama yang datang untuk membebaskan akal manusia dari segala ikatan tradisi, sebagaimana kita lihat pada langkah-langkah awal dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sesungguhnya semua sistem dan perundang-undangan yan dibawa oleh Islam merupakan prinsip. Prinsip adalah sesuatu yang tegak di atas landasan pemikiran dan akal, dan bertujuan mencapai tujuan tertentu. Jika prinsip manusia kadang menyalahkan kebenaran karena kelemahan pemikirannya, maka pirnsip Islam tidak pernah sama sekali menyalahkan kebenaran, karena yang mensyariatkannya adalah Pencipta akal dan pemikiran. Ini saja sudah cukup menjadi dalil ‘aqli untuk menerima dan meyakini kebenaran prinsip-prinsip Islam.
Tradisi hanya merupakan arus perilaku manusia yang terbawa olehnya secara spontan karena semata-mata faktor peniruan dan taqlid yang ada padanya. Prinsip adalah garis yang harus mengatur perkembangan jaman, bukan sebaliknya. Sedangkan tradisi ialah sejumlah benalu yang tumbuh secara spontan di tengah ladang pemikiran yang ada pada masyarakat, tradisi adalah (hasyisy & candu) berbahaya yang harus dimusnahkan dan dijatuhkan dari pemikiran sesat.
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS Ali Imran : 7)
[183]  Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas Maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[184]  termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.


No comments:

Post a Comment