Friday, October 15, 2010

Tahapan Dakwah Islamiyah Dalam Kehidupan Rasulullah saw



(Sirah nabawiyah)
Dakwah Islamiyah di masa hidup Nabi saw, sejak bi’tsah hingga wafatnya menempuh Empat Tahapan :
Pertama :
Dakwah secara rahasia, selama tiga tahun.
Kedua :
Dakwah secara terang-terangan dengan menggunakan lisan saja tanpa perang, berlangsung sampai hijrah.
Ketiga :
Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi orang-orang yang menyerang dan memulai peperangan atau kejahatan. Tahapan ini berlangsung sampai tahun perdamaian Hudaibiyah.
Keempat :
Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi setiap orang yang menghalangi jalannya dakwah atau menghalangi orang yang masuk Islam. Setelah masa dakwan yang pemberitahuan dari kaum musyrik, anti agama atau penyembah berhala . Pada tahapan inilah syariat Islam dan hukum jihad dalam Islam mencapai kemapanan.
DAKWAH SECARA RAHASIA
Nabi saw mulai menyambut Allah swt dengan mengajak manusia untuk menyembah Allah swt semata dan meninggalkan berhala. Tetapi dakwah Nabi ini dilakukan secara rahasia untuk menghindari tindakkan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan peganimismenya. Nabi saw tidak menampakkan dakwah di majelis-majelis umum orang-orang Quraisy, dan tidak melakukan dakwah kecuali kepada orang yang memiliki hubungan kerabat atau kenal baik sebelumnya.
Orang-orang yang pertama kali masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abi Thalib, Zaib bin Haritza mantan budak Rasulullah saw, dan anak angkatnya, Abu Bakar bin Abi Qufahah, Ustman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lainnya.
Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila salah seorang di antara mereka ingin melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Mekkah seraya bersembunyi dari pandangan orang-orang Quraisy.
Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah saw memilih rumah salah seorang dari mereka, yaitu rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, seebagai tempat pertemuan untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah pada tahapan ini menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan wanita telah menganut Islam. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fakir, kaum budak dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliki kedudukan.
Beberapa Pelajaran
1. Sebab Sirriyah pada permulaan dakwah Rasulullah saw.
Tidak diragukan lagi, bahwa kerahasiaan dakwah Nabi saw selama tahun-tahun pertama ini bukan karena kekhawatiran Nabi saw terhadap dirinya. Sebab, ketika beliau dibebani dakwah dan diturunkan kepadanya firman Allah swt :
“ Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berikanlah peringatan", beliau sadar, bahwa dirinya adalah utusan Allah swt kepada manusia. Karena itu beliau yakin bahwa Allah swt yang mengutus dan membebaninya dengan tugas dakwah ini mampu melindungi dan menjaganya dari gangguan manusia. Kalau Allah swt memerintahkan agar melakukan dakwah secara terang-terangan sejak hari pertama, niscaya Rasulullah saw tidak akan mengulur waktu sedetikpun, sekalipun harus menghadapi resiko kematian.
Tetapi Allah swt memberikan ilham kepadanya, dari ilham kepada Nabi saw adalah semacam wahyu kepadanya, agar memulai dakwah pada tahapan awal dengan rahasia dan tersembunyi, dan agar tidak menyampaikan keculai kepada orang yang telah diyakini akan menerimanya. Ini dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan bagi para da’i sesudahnya agar melakukan perencanaan secara cermat dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan dakwah. Tetapi hal ini tidak boleh mengurangi rasa tawakal kepada Allah swt semata, dan tidak boleh dianggap sebagai faktor-faktor yang paling menentukan . Sebab hal ini akan merusak prinsip keimanan kepada Allah swt, di samping bertentangan dengan tabiat dakwah kepada Islam.
Dari sini diketahui bahwa uslub dakwah Rasulullah saw pada tahapan ini merupakan Siyasah syari’ah (kebijaksanaan) darinya sebagai imam, bukan termasuk tugas-tugas tablighnya dari Allah swt sebagai seorang Nabi.
Berdasarkan hal itu, maka para pimpinan dakwah Islamiyah pada setiap masa boleh menggunakan keluwesan dalam cara berdakwah, dari segi Sirriyah dan Jariyah atau kelemahlembutan dan kekuatan, sesuai dengan tuntutan keadaan dan situasi masa di mana mereka hidup. Yakni keluwesan yang ditentukan oleh syari’at Islam berdasarkan kepada realitas Nabi saw, sesuai dengan empat tahapan yang telah disebutkan , selama tetap mempertimbangkan kemashlahatan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah pada setiap kebijaksanaan yang diambilnya. Oleh karena itu Jum hur Fuqaha sepakat jika jumlah kaum Muslim sedikit atau lemah posisinya, sehingga diduga keras mereka akan dibunuh oleh para musuhnya tanpa kesalahan
apapun bila para musuh itu telah bersepakat akan membunuh mereka, maka dalam keadaan seperti ini harus didahulukan kemashlahatan menjaga atau menyelamatkan jiwa, karena kemashlahatan menjaga agama dalam kasus seperti ini belum dapat diapstikan.
Al’Izzu bin Abdul Salam menyatakan keheranan melakukan jihad (perang) dalam kondisi seperti ini : „..Apabila tidak terjadi kerugian, maka wajib mengalah (tidak melakukan perlawanan), karena (perlawanan dalam situasi seperti ini) akan mengakibatkan hilangnya nyawa, di samping menyenangkan orang-orang kafir yang menghinakan para pemeluk agama Islam. Perlawanan seperti ini menjadi mafsadah (kerugian) semata, tidak mengandung maslahat.“
Saya berkata :“ Mendahulukan kemaslahatan jiwa di sini hanya dari segi lahiriyah saja. Akan tetapi pada hakekatnya juga merupakan kemaslahatan agama. Sebab kemaslahatan agama (dalam situasi seperti ini) memerlukan keselamatan nyawa kaum Muslimin agar mereka dapat melakukan jihad pada medan-medan lain yang masih terbuka. Jika tidak , maka kehancuran mereka dianggap sebagai ancaman terhadap agama itu sendiri, dan pemberian peluang kepada orang-orang kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup.
Singkatnya , wajib mengadakan perdamaian atau merahasiakan dakwah apabila tindakan menampakkan dakwah atau perang itu akan membahayakan dakwah Islamiyah. Sebaliknya tidak boleh merahasiakan dakwah apabila bisa dilakukan dengan cara terangterangan dan akan memberikan faidah. Tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orang-orang yang dzalim dan memusuhi dakwah, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan pertahanan. Juga tidak boleh berhenti memerangi orang-orang kafir di negeri mereka, apabila telah cukup memiliki kekuatan dan sarana untuk melakukannya.
2. Orang-orang yang Pertama Masuk Islam dan Hikmahnya.
Sirah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang masuk Islam para marhala (tahapan) ini kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang fakir, lemah dan kaum budak. Apa hikmah dari kenyataan ini ? Apa rahasia tegakknya Daulah Islamiyah di atas pilar-pilar yang terbentuk dari orang-orang seperti mereka ini ?
Jawabannya, bahwa fenomena ini merupakan hasil alamiah dari dakwah para Nabi pada tahapannya yang pertama. Tidakkah anda perhatikan bagaimana kaum Nuh mengejeknya karena orang-orang yang mengikutinya hanyalah orang-orang kecil?
„Kami tidak melihat kamu , melainkan (sebagain seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja .... „ (QS Huud : 27)
Tidakkah anda perhatikan bagaimana Fir’aun dan para pendukungnya memandang rendah para pengikut Musa as sebagai orang-orang yang tertindas sampai Allah swt menyebutkan mereka setelah menceritakan kehancuran Fir’aun dan para pendukungnya ?
Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah kami beri berkah padanya............(QS Al-A’raaf : 37)
Tidakkah anda perhatikan bagaimana kelompok elite kaum Tsamud menolak Nabi Shaleh , dan hanya orang-orang tertindas di antara mereka yang mau beriman kepadanya, hingga Allah swt mengatakan tentang mereka di dalam firman-Nya :
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya Berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang Telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?". mereka menjawab: "Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu". (QS al-A’raaf : 75-76)
Sesungguhnya hakekat agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah swt ialah menolak kekuasaan dan pemerintahan manusia , dan kembali kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah swt semata. Hakekat ini terutama sekali bertentangan dengan „ketuhanan“ orang-orang yang mengaku sebagai „tuhan“. Dan kedaulatan orang-orang yang mengaku berdaulat. Dan terutama sekali , sesuai dengan keadaan orang-orang yang tertindas dan diperbudak. Sehingga reaksi penolakan terhadap ajakan untuk berserah diri kepada Allah swt semata datang terutama dari orang-orang yang mengaku berdaulat tersebut. Sementara orangorang yang tertindas menyambut dengan baik.
Hakekat ini nampak dengan jelas dalam dialog yang berlangsung antara Rustum, komandan tentara Persia pada perang al-Qadisiyah , dan Rabi’ bin Amir, seorang prajurit biasa di jajaran tentara Sa’ad bin Abi Waqqash. Rustum berkata kepadanya :“Apa yang mendorong kalian memerangi kami dan masuk ke negeri kami?“ Rabi’ bin Amir berkata :“ kami datang untuk mengeluarkan siapa saja dari penyembahan manusia kepada penyembahan Allah swt semata“. Kemudian melihat barisan manusia di kanan dan kiri Rustum tunduk dan ruku’ kepada Rustum,
Rabi’ bin Amir berkata dengan penuh keheranan,“Selama ini kami mendengar tentang kalian hal-hal yang mengagumkan, tetapi aku tidak melihat kaum yang lebih bodoh dari kalian. Kami kaum Muslimin tidak saling memperbudak antara satu dengan lainnya. Aku mengira bahwa kalian semua sederajat sebagaimana kami. Akan tetapi lebih baik dari apa yang kalian perbuat jika kalian jelaskan kepadaku bahwa sebagian kalian menjadi tuhan bagi sebagian yang lain.
“Mendengar ucapan Rubi’ bin Amir ini orang-orang yang tertindas antara mereka saling berpandangan seraya berguman,“ Demi Allah swt, orang Arab ini benar.“ Tetapi bagi para pemimpin , ucapan Rubi’ bin Amir ini ibarat geledek yang menyambut mereka, sehingga salah seorang di antara mereka berkata :“ Dia telah melemparkan ucapan yang senantiasa dirindukan oleh para budak kami.“
Tetapi ini tidak berarti bahwa keislaman orang-orang yang tertindas itu tidak bersumber dari keimanan, bahkan bersumber dari kesadaran dan keinginan untuk bebas dari penindasan dan kekuasaan para tiran. Sebab baik para tokoh Quraisy maupun kaum tertindasnya sam-sama berkewajiban mengimani Allah swt semata, dan membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad saw. Tidak seorang pun dari mereka kecuali mengetahui kejujuran Nabi saw dan kebenaran apa yang disampaikan dari Rabb-Nya. Kaum elite dan para tokoh tidak tunduk dan mengikuti Nabi saw karena dihalangi oleh faktor gengsi kepemimpina mereka. Contoh yang paling nyata adalah pamannya, Abu Thalib. Sedangkan kaum tertindas dan lemah dengan mudah mau menerimannya dan mengikuti Nabi saw, karena mereka tidak dihalangi oleh sesuatu apapun. Di samping bahwa keimanan kepada Uluhiyah Allah swt akan menumbuhkan rasa izzah (wibawa) pada diri seseorang, dan menghapuskan rasa gentar kepada kekuatan selain dari kekuatan-Nya.Perasaan yang merupakan buah keimanan kepada Allah swt ini , pada waktu yang sama, memberikan kekuatan baru dan menjadikan pemiliknya merasakan kebahagiaan.
Dari sini kita dapat mengetahui besarnya kebohongan yang dibuat oleh para musuh Islam di masa sekarang. Ketika mereka mengatakan dakwah yang dilakukan oleh Muhammad saw hanyalah berasal dari inspirasi lingkungan Arab tempat ia hidup. Dengan kata lain, dakwah Muhammad saw hanya mencerminkan gerakan pemikiran Arab di masa itu.
Seandainya demikian, hasil dakwah selama tiga tahun tersebut tidak hanya berjumlah empat puluh orang lelaki dan wanita. Dan kebanyakan mereka adalah kaum fakir, tertindas dan budak. Bahkan ada yang berasal dari negeri asing, yaitu Shuhaub ar-Rumi dan Bilil al-Habasyi.
Pada pembahasan mendatang akan anda ketahui bahwa lingkungan Arab itu sendirilah yang justru memaksa Nabi saw untuk melakukan hijrah dari negerinya dan memaksa pengikutnya berpencar-pencar, bahkan pergi hijrah ke Habasyiah. Ini semua karena kebencian lingkungan tersebut terhadap dakwah yang mereka tuduh sebagai nasionalis Arab.
DAKWAH SECARA TERANG TERANGAN
Ibnu Hisyam berkata : „Kemudian secara berturut-turut manusia, wanita danlelaki, memeluk Islam, sehingga berita Islam tersiar di Mekkah dan menjadi bahan pembicaraan orang. Lalu Allah swt memerintahkan Rasul-Nya menyampaikan Islam dan mengajak orang kepadanya secara terang-terangan, setelah selama tiga tahun Rasulullah saw melakukan dakwah secara sembunyi, kemudian Allah swt berfirman kepadanya :
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS Al-Hijr : 94)
„Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yangmengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.“ (QS asy-Syu’ara : 214-215)
„Dan katakanlah „Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan.“ (QS al-Hijr: 89)
Pada waktu itu pula Rasulullah saw segera melaksanakan perintah Allah swt.  Kemudian menyambut firman Allah swt: (dalam QS Al-Hijr: 94 tersebut diatas)  dengan pergi ke atas bukit Shafa lalu memanggil,“Wahai Bani Fihr, wahai bani ‘adi,“ Sehingga mereka berkumpul dan orang yang tidak bisa hadir mengirimkan orang untuk melihat apa yang terjadi. Maka Nabi Muhammad saw berkata :“Bagaimanakah pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan menyerangmu, apakah kamu mempercayaiku ?“
Jawab mereka :“ Ya, kami belum pernah melihat kamu berdusta.“ Kata Nabi saw :“ Ketehuilah, sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan kepada kalian dari siksa yang pedih“. Kemudian Abu Lahab memprotes,“Sungguh celaka kamu sepanjang hari , hanya untuk inikah kamu mengumpulkan kami.“ Lalu turunlah firman Allah swt :
„Binasalah kedua belah tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS Al-Lahab : 1)
Kemudian Rasulullah saw turun dan melaksanakan firman Allah swt, “ Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat,“ (QS asy-Syu’ara : 214-215) dengan mengumpulkan semua keluarga dan kerabatnya lalu berkata kepada mereka, „Wahai Bani Ka’b bin Lu’au, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai bani Murrah bin Ka’ab , selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdi Syams, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai Bani Abdul Muththalib, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Wahai fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka! Sesungguhnya, aku tidak akan dapat membela kalian di hadapan Allah swt, selain bahwa kalian mempunyai tali kekeluargaan yang akan aku sambung dengan hubungannya”.
Dakwah Nabi saw , secara terang-terangan ini ditentang dan ditolak oelh bangsa Quraisy, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat meninggalkan agama ynag telah mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan mereka. Pada saat itulah Rasulullah saw mengingatkan mereka akan perlunya membebaskan pikiran dan akal mereka dari belenggu taqlid. Selanjutnya dijelaskan oleh Nabi saw bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu tidak dapat memberi faidah atau bahaya sama sekali. Dan bahwa turun-temurun nenek moyang mereka dalam menyembah tuhan-tuhan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengikuti mereka secara taqlid buta. Firman Allah swt menggambarkan mereka :
„Dan apabila dikatakan kepada mereka,“Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah swt,“ mereka menjawab,“ (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.“ (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupaun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu pun dan tidak mendapat petunjuk ?“ (QS al-Baqarah : 170)
Ketika Nabi saw mencela tuhan-tuhan mereka, membodohkan mimpi-mimpi mereka, dan mengecam tindakan taqlid buta kepada nenek moyang mereka dalam menyembah berhala, mereka menentangnya dan sepakat untuk memusuhinya, kecuali pamannya Abu Tahlib yang membelanya.
Beberapa Pelajaran
Pada bagian Sirah Nabi saw ini terdapat tiga hal yang penting untuk di catat :
Pertama , sesungguhnya Rasulullah saw ketika menyampaikan dakwah Islam secara terang-terangan kepada bangsa Quraisy dan bangsa Arab pada umumnya, mengejutkan mereka dengan sesuatu yang tidak pernah mereka pikirkan atau asing sama sekali. Ini secara jelas nampak dalam reaksi Abu Lahab terhadapnya, dan kesepakatan tokoh-tokoh Quraisy untuk memusuhi dan menentangnya.
Hal ini kiranya cukup menjadi jawaban telak bagi orang-orang yang berusaha menggambarkan syariat Islam sebagai salah satu buah nasionalisme Arab, dan menganggap Nabi saw dengan dakwah yang dilakukannya sebagai mencerminkan idealisme dan pemikiran Arab pada masa itu.
Bagi pengkaji Sirah Nabawiyah tidak perlu menyusahkan diri untuk menyanggah atau mendiskusikan tuduhan-tuduhan lucu itu. Sebenarnya orang-orang yang melontarkan tuduhan itu sendiri mengetahui kenaifan dan kepalsuannya. Tetapi betapapun tuduhan-tuduhan tersebut, dalam pandangan mereka , harus dilontarkan guna menghancurkan Islam dan pengaruhnya. Tidaklah penting bahwa tuduhan tersebut harus benar. Yang penting bahwa kepentingan dan tujuan mereka memerlukan pengelabuhan seperti itu.
Kedua, sebenarnya bisa saja Allah swt tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk memberi peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya secara khusus, karena sudah cukup dengan keumumam perintah-Nya yang lain, yaitu firman-Nya :“ Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu.“ Perintah ini sudah mencakup semua anggota keluarganya dan kerabatnya. Lalu apa hikmah dikhususkan perintah untuk memberi peringatan kepada keluarganya ini ?
Jawabannya, bahwa ini merupakan isyarat kepada beberapa tingkat tanggungjawab yang berkaitan dengan setiap Muslim pada umumnya, dan para da’i pada khususnya. Tingkat tanggung jawab yang paling rendah ialah tanggung jawab seseorang terhadap dirinya sendiri. Karena mempertimbangkan penumbuhan tingkat tanggung jawab ini, maka rentang waktu permulaan wahyu berlangsung sekian lama. Yakni sampai Muhamad saw mantap dan menyadari bahwa ia seorang Nabi dan Rasul dan bahwa apa yang diturunkan kepadanya adalah wahyu dari Allah swt yang harus diyakininya sendiri terlebih dahulu, dan mempersiapkan dirinya untuk menerima prinsip , sistem, dan hukum yang akan diwahyukan.
Tingkatan berikutnya ialah tanggung jawab seorang Muslim terhadap keluarga dan kerabat dekatnya. Sebagai pengarahan kepada pelaksanaan tanggung jawab ini, Allah swt secara khusus memerintahkan Nabi-Nya agar memberi peringatan kepada keluarga dan kerabat dekatnya, setelah perintah bertabligh secara umum. Tingkat tanggungjawab ini merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki keluarga dan kerabat. Tidak ada perbedaan antara dakwah Rasul kepada kaumnya dan dakwah seorang Muslim kepada keluarganya. Hanya saja, yang pertama berdakwah kepada syariat baru yang diturunkan Allah swt kepadanya, sementara yang kedua berdakwah dengan dakwah Rasul. Sebagaimana Nabi atau Rasul tidak boleh untuk tidak menyampaikan dakwah kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Bahkan ia wajib memaksa keluarganya untuk melaksanakannya, maka demikian pula halnya seorang Muslim terhadap keluarganya dan kerabat dekatnya.
Tingkat ketiga ialah tanggung jawab seorang ‘alim terhadap kampung atau negerinya, dan tanggung jawab seorang penguasa terhadap negara dan kaumnya. Masing-masing dari keduanya menggantikan tanggung jawab Rasulullah saw, karena keduanya merupakan pewaris Rasulullah saw secara syariat, sebagaimana sabda beliau :“ Ulama adalah pewaris para Nabi.“ Selain itu, Imam dan penguasa juga disebut Khalifah (pengganti) , yakni pengganti Rasulullah saw.
Tetapi seorang imam dan penguasa dalam masyarakat Islam, diharuskan memiliki ilmu. Sebab tidak ada perbeda-an antara tabiat tanggung jawab yang diemban Rasulullah saw dan tanggung jawab yang diembang oleh para ulama dan penguasa. Bedanya bahwa Rasulullah saw menyampaikan syariat mereka mengikuti jejak Rasulullah saw dan berpegang teguh dengan Sunnah dan Sirahnya dalam apa yang mereka lakukan dan sampaikan.
Jadi , sebagai seorang mukluk Allah swt, Nabi saw bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Sebagai pemilik keluarga dan kerabat, Nabi saw bertanggung jawab kepada keluarga dan kerabatnya. Dan sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah swt, beliau bertanggung jawab terhadap semua umat manusia.
Demikian pula halnya dengan diri kita, baik sebagai seorang mukallaf , pemilik keluarga, ataupun ulama. Dan seorang penguasa memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana Nabi saw.
Ketiga, Rasulullah saw mencela kaumnya karena mereka menjadi „tawanan“ tradisi nenek moyang mereka tanpa berpikir lagi tentang baik dan buruknya. Kemudian Rasulullah saw mengajak mereka untuk membebaskan akal mereka dari belenggu taqlid buta dan fanatisme terhadap tradisi yang tidak bertumpu di atas landasan pemikiran dan logika sehat.
Hal ini menjadi dalil bahwa agama ini termasuk masalah keyakinan dan hukum bertumpu di atas akal dan logika. Karena itu, di antara syarat terpenting kebenaran iman kepada Allah swt dan masalah-masalah keyakinan yang lain ialah, bahwa keimanan tersebut harus didasarkan kepada asas keyakinan dan pemikiran yang bebas, tanpa dipengaruhi oleh kebiasaan atau tradisi sama sekali. Sehingga pengarang kitab Jauharatut Tauhid mengatakan :
„Setiap orang yang bertaqlid dalam masalah tauhid keimanannya tidak terbebas dari keraguannya„
Dari sini dapat anda ketahui bahwa Islam datang untuk memerangi tradisi dan melarang masuk ke dalam jeratnya. Sebab semua prinsip dan hukum Islam didasarkan pada akal dan logika yang sehat. Sementara itu, tradisi di dasarkan pada dorongan ingin mengikuti semata tanpa ada unsur seleksi dan pemikiran. Kata tradisi dalam bahasa Arab berarti sejumlah kebiasaan yang diwarisi secara turun temurun, atau yang berlangsung karena faktor pergaulan dalam suatu lingkungan atau negeri, dimana taqlid semata merupakan penopang utama bagi kehidupan kesinambungan tradisi tersebut.
Semua pola kehidupan yang dibiasakan manusia, seperti beberapa permainan pada saat-saat kegembiraan, atau berpakaian hitam pada saat kesusahan dan kematian, yang bertahan secara turun-temurun karena faktor pewarisan atau transformasi melalui pergaulan, dalam istilah bahasa dan ilmu sosial disebut tradisi.
Dengan demikian, Islam sama sekali tidak mengandung unsur tradisi, baik yang berkaitan dengan aqidah , hukum atau sistem. Karena aqidah di dasarkan pada landasan akal dan logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi.
Kemaslahatan ini tidak dapat diketahui kecuali melalui pemikiran dan perenungan, kendatipun oleh sebagian akal manusia tidak dapat diketahui karena sebab-sebab tertentu.
Dengan demikian, jelaslah kesalahan orang-orang yang mengistilahkan peribadahan, hukum-hukum, syariat dan akhlak Islam dengan tradisi Islam. Sebab, per-istilahan yang dzalim ini akan memberikan konotasi bahwa perilaku dan akhlak Islam tersebut bukan karena statusnya sebagai prinsip Ilahi yang menjadi factor kebahagiaan manusia, tetapi sebagai tradisi lama yang diwarisi turun-temurun. Tentu saja istilah ini pada gilirannya akan menimbulkan rasa enggan pada kebanyakan orang untuk menerima warisan lama yang ingin ditetapkan kepada masyarakat yang serba berkembang dan maju ini.
Sesungguhnya penyebutan hukum-hukum Islam dengan istilah tradisi Islam bukan merupakan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi merupakan mata rantai penghancuran Islam dengan istilah-istilah menyesatkan.
Tujuan utama dari pemasaran tradisi Islam ini ialah agar semua sistem dan hukum Islam dipahami sebagai tradisi. Sehingga setelah makna tradisi ini terkait dengan sistem-sistem dan hukum-hukum Islam selama masa sekian lama dalam benak manusia, dan mereka lupa bahwa sistem-sistem tersebut pada hakekatnya merupakan prinsip-prinsip yang di dasarkan pada tuntutan akal sehat, maka menjadi gampanglah bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam melalui „pintu“ yang telah dipersiapkan tersebut.
Tidak diragukanlagi , jika kaum Muslim telah menyadarai semua prinsip dan hukum Islam, seperti masalah pernikahan dan thalaq, jilbab wanita, serta semua perilaku dan akhlak Islam sebagai tradisi maka wajar, saja jika kemudian muncul orang yang mengajak kepada penghancuran tradisi dan pembebasan diri dari ikatannya, terutama pada abad di mana kebebasan pendapat dan berpikir sangat dominan.
Tetapi sesungguhnya tidak ada tradisi dalam Islam. Islam adalah agama yang datang untuk membebaskan akal manusia dari segala ikatan tradisi, sebagaimana kita lihat pada langkah-langkah awal dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sesungguhnya semua sistem dan perundang-undangan yan dibawa oleh Islam merupakan prinsip. Prinsip adalah sesuatu yang tegak di atas landasan pemikiran dan akal, dan bertujuan mencapai tujuan tertentu. Jika prinsip manusia kadang menyalahkan kebenaran karena kelemahan pemikirannya, maka pirnsip Islam tidak pernah sama sekali menyalahkan kebenaran, karena yang mensyariatkannya adalah Pencipta akal dan pemikiran. Ini saja sudah cukup menjadi dalil ‘aqli untuk menerima dan meyakini kebenaran prinsip-prinsip Islam.
Tradisi hanya merupakan arus perilaku manusia yang terbawa olehnya secara spontan karena semata-mata faktor peniruan dan taqlid yang ada padanya. Prinsip adalah garis yang harus mengatur perkembangan jaman, bukan sebaliknya. Sedangkan tradisi ialah sejumlah benalu yang tumbuh secara spontan di tengah ladang pemikiran yang ada pada masyarakat, tradisi adalah (hasyisy & candu) berbahaya yang harus dimusnahkan dan dijatuhkan dari pemikiran sesat.
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS Ali Imran : 7)
[183]  Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas Maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[184]  termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.


JIHAD

JIHAD (جهاد) adalah berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam.
Jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu menegakkan Din Allah atau menjaga Din tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada aturan Allah, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi.
Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip Din Islam sebagai 'perang suci' (holy war); istilah untuk perang fisik adalah Qital, bukan Jihad. Jihad dalam bentuk perang dilaksanakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi ummat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar). Pada dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras" , namun bukan harus berarti "perang dalam makna "fisik" . jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik.
Qital (perang fisik) semasa kepemimpinan Nabi Muhammad saw dan Khulafaur Rasyidin antara lain diriwayatkan bahwa Abu Bakar sebelum mengirim pasukan untuk berperang melawan pasukan Romawi, memberikan pesan pada pasukannya, yang kemudian menjadi etika dasar dalam perang yaitu:
  • Jangan berkhianat.
  • Jangan berlebih-lebihan.
  • Jangan ingkar janji.
  • Jangan mencincang mayat.
  • Jangan membunuh anak kecil, orang tua renta, wanita.
  • Jangan membakar, menebang pohon atau menyembelih binatang ternak kecuali untuk dimakan.
  • Jangan mengusik orang-orang Ahli Kitab yang sedang beribadah.
Perang yang mengatas namakan penegakan Islam namun tidak mengikuti Sunnah Rasul tidak bisa disebut Jihad. Sunnah Rasul untuk penegakkan Islam bermula dari dakwah tanpa kekerasan, hijrah ke wilayah yang aman dan menerima dakwah Rasul, kemudian mengaktualisasikan suatu masyarakat Islami (Ummah) yang bertujuan menegakkan Kekuasaan Allah di muka bumi.
Menurut Nasaruddin Umar (Rektor Institut PTIQ, Jakarta) di dalam bahasa media dan dalam bahasa  populer, kata Qital, Gazwah, dan Jihad pengertiannya sering dipersamakan. Padahal perbedaannya amat tegas dan jelas di dalam Islam. Qital dan Gazwah perang atau kontak senjata langsung antara dua kelopok yang berbeda; sedangkan Jihad bisa dimaknai sebagai usaha sungguh-sungguh untuk membela panji-panji keislaman.
Jihad merupakan derivasi dari kata jâhada-yuhâhidu-jihâd/mujâhadah. Secara etimologi, jihad berarti mencurahkan segenap upaya dan kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang berhubungan dengan kesulitan dan penderitaan. Sehingganya, jâhada berarti mencurahkan segala kemampuan dalam membela dan memperoleh kemenangan. Dikaitkan dengan musuh, maka jâhada al-‘aduww berarti membunuh musuh, mencurahkan segenap tenaga untuk memeranginya, dan mengeluarkan segenap kesungguhan dalam membela diri darinya.
Dari aspek terminologi, definisi jihad berkisar kepada tiga aspek :
  1. Jihad yang dipahami secara umum, adalah segala kemampuan yang dicurahkan oleh manusia dalam mencegah/membela diri dari   keburukan dan menegakkan kebenaran. Termasuk dalam kategori ini adalah menegakkan kebenaran, membenahi masyarakat, bersunggung-sungguh serta ikhlas dalam beramal, gigih belajar untuk melenyapkan kebodohan, bersungguh-sungguh dalam beribadah seperti haji.
  2. Jihad dipahami secara khusus, sebagai mencurahkan segenap upaya dalam menyebarkan dan membela dakwah Islam.
  3. Jihad yang dibatasi pada Qitâl (perang), untuk membela agama untuk menegakkan agama Allah dalam melindungi kegiatan dakwah.
Menurut Abû ‘Abd al-Fattâh ‘Aliy ibn Hâj, jihad bukan hanya sebatas mencurahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang kafir, jihad juga mencakup tiga aspek:
  • Jihad dalam mempelajari agama dan mengamalkannya, serta mengajarinya.
  • Jihad dalam melawan setan dengan cara mencegah hal syubhat yang muncul dari syahwat.
  • Jihad terhadap orang fasik dan kaum kafir, baik dengan kekuasaan, harta, lisan, dan hati.
Dari uraian di atas bahwa minimal dapat difahami bahwa Jihad lebih bersifat umum dan komperhensif, mulai dari kegiatan  sosial keagamaan sampai perjuangan secara fisik. Sedangkan Qital dan Gazawa  perjuangan yang lebih bersifat fisik.
Sedangkan ‘Bunuh diri’ atau “Membunuh orang lain tanpa sebab” bukan di katakana Jihad fisabilillah karena tidak ada contohnya dari baginda Rasulullah saw dan para sahabat r.a., bahkan perbuatan tersebut dilarang dalam agama Islam.
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.”
Dan Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Muhammad bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
JIHAD FISABILILLAH yang banyak disebutkan dalam Al-Quran dan Hadist Nabi, adalah suatu gerakan dakwah Islamiyah yang di mulai setelah Nabi saw dan para sahabat ra Hijrah ke Madinah (baca: Dakwah Cara Nabi saw). Allah swt menyatakan bahwa umat nabi dan umat sepeninggal nabi adalah umat yang terbaik dari umat-umat sebelumnya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran 110)

Dengan ber-jihad fi sabilillah berarti kita telah menolong agama Allah, sebagaimana firman-Nya :
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam Telah Berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS. Ash-Shaff 14)
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad: 7)
Maka hasil dari usaha kerja kenabian (jihad fisabilillah) Allah swt memperlihatkan janjinya, banyak yang menjadi ta’at ibadah, gereja-gereja berubah menjadi masjid serta orang kafir berbondong-bondong memeluk islam baik di Amerika dan Eropa dan Asia.
Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. (An-Nashr 1-2)
Apakah kita setelah membaca penjelasan serta uraian diatas masih meragukan akan “keharusan” atau “kewajiban” dalam Jihad fi sabilillah ini?!  Ingat ini firman Allah dalam Al-Quran, yang harus kita yakini sebagai seorang beragama.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (QS Al-Hujurat 15)
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,  (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.  Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS Al-Baqarah 2-3-4)
(Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Ali Imran 138)

Mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat. (QS Al-An’aam 90)

DALIL “JIHAD FISABILILLAH” DALAM AL-QURAN

DALIL   “JIHAD FISABILILLAH” DALAM AL-QURAN

Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (At Taubah 73)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al Baqarah 190)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (AL Hujuraat 15)
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (QS Ash Shaff-10)
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS Ash Shaff-11)
Dan barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS Al-Ankabuut : 6)
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs Al-Ankabuut 69)
Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim[633] (QS At-Taubah : 19)
[633]  ayat Ini diturunkan untuk membantah anggapan bahwa memberi minum para haji dan mengurus masjidil-haram lebih utama dari beriman kepada Allah serta berhijrah di jalan Allah.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal, Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(QS At-Taubah : 20-21-22)
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia Ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. (QS At-Taubah : 38)
Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS At-Taubah : 39)
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS At-Taubah : 41)
Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, Pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri mereka sendiri[644] dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. (QS At-Taubah : 42)
[644]  maksudnya mereka akan binasa disebabkan sumpah mereka yang palsu.
Orang-orang yang ditinggalkan (Tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka Mengetahui. (QS At-Taubah : 81)
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS At-Taubah : 82)
Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, Kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka Katakanlah: "Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu Telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang."[651]   (QS At-Taubah : 83)
[651]  setelah nabi Muhammad saw selesai dari peperangan Tabuk dan kembali ke Madinah dan bertemu segolongan orang-orang munafik yang tidak ikut perang, lalu mereka minta izin kepadanya untuk ikut berperang, Maka nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah untuk mengabulkan permintaan mereka, Karena mereka dari semula tidak mau ikut berperang.
Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS At-Taubah : 84)
Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keadaan kafir. (QS At-Taubah : 85)
Dan apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): "Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya", niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk"[652] (QS At-Taubah : 86)
[652]  Maksudnya: orang-orang yang tidak ikut berperang.
Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak berperang[653], dan hati mereka Telah dikunci mati Maka mereka tidak mengetahui (kebahagiaan beriman dan berjihad). (QS At-Taubah : 87)
[653]  Maksudnya: wanita-wanita, anak-anak, orang-orang lemah, orang-orang yang sakit dan orang-orang yang sudah tua.

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An’Nissa 100)

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran : 110)

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. dia (Allah) Telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu [993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. dia adalah Pelindungmu, Maka dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong. (Qs. Al Hajj 78)
[993]  Maksudnya: dalam kitab-kitab yang Telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w.

Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Qs. At Taubah 24)

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Qs. Al Anfaal 74)

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS Al Baqarah 245)

Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, Kemudian mereka di bunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezki yang baik (surga). dan Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezki. (Qs. Al Hajj 58)
Saudaraku se iman, masih banyak lagi dalil-dalil mengenai Jihad di dalam Al-Qur'an, Silahkan untuk mencarinya sendiri agar membiasakan diri untuk selalu membaca dan membuka Kitabullah.

DALIL “JIHAD FISABILILLAH” DALAM HADIST


Dari Ibnu ‘Umar r.hum., dari Nabi saw., beliau menceritakan dari Tuhannya tabaraka wa ta’ala, Dia berfirman.”Siapa saja di antara hamba-Ku yang keluar berjihad di jalan-Ku karena mencari keridhaan-Ku, niscaya Aku jamin akan memulangkannya dengan membawa pahala dan ghanimah. Dan jika Aku cabut nyawanya, Aku jamin akan mengampuninya, merahmatinya, dan memasukkannya ke dalam surge.” (H.r. Ahmad)
Dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw., “Amal apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya, berbakti kepada kedua orangtua, lalu jihad fi sabilillah.” (H.r. Bukhari).
Dari Abu Umamah r.a., bahwasannya Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga golongan, semuanya mendapat jaminan dari Allah. Jika hidup, akan diberi rezeki dan dicukupi. Jika mati, Allah akan memasukannya ke dalam surga, yaitu 1) Barangsiapa masuk kerumahnya dan mengucapkan salam, maka ia mendapat jaminan dari Allah. 2) Barangsiapa keluar menuju masjid, maka ia mendapat jaminan Allah. 3) Barangsiapa keluar di jalan Allah, maka ia mendapat jaminan dari Allah.” (H.r. Ibnu Hibban)
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit r.a., ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah kalian berjihad fi sabilillah karena, jihad merupakan salah satu pintu surga. Dengan jihad, Allah akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahan.” (Dalam riwayat lain di tambahkan), “Berjihadlah di jalan Allah di tempat yang dekat dan jauh. Tegakkanlah batasan-batasan Allah di tempat yang dekat dan jauh. Dan jangan sampai celaan orang menghalangi kalian dari taat kepada Allah.” (H.r. Hakim)
Dari Abu Umamah r.a., bahwasanya seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah! Izinkan aku untuk mengembara.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya pengembaraan umatku adalah Jihad fi sabilillah “azza wa jalla.” (H.r. Abu Dawud).
Dari Fadhalah bin ‘Ubaid r.a., ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Amal yang paling dekat kepada Allah azza wa jalla ialah jihad fi sabilillah. Tidak ada sesuatu pun yang bias menyamainya.” (H.r. Bukhari – Tarikh Kabir, Jami’ush-Shaghir).
Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a., ia berkata, Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah orang yang paling utama?” Beliau bersabda, “Seseorang yang berjihad di jalan Allah.” Mereka bertanya,”Lalu siapa?” Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang berada di suatu tempat di antara dua bukit, bertaqwa kepada Tuhannya dan meninggalkan manusia agar tidak berbuat keburukan kepada mereka.” (H.r. Tirmidzi)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a., dari Nabi saw., bahwasannya beliau ditanya, “Siapakah orang mukmin yang paling sempurna imannya?” Beliau menjawab, “Seseorang yang berjihad fi sabilillah dengan jiwa dan hartanya, dan seorang laki-laki yang menyembah Allah di suatu kaki bukit, menyelamatkan orang-orang dari perbuatan buruk dirinya.” (H.r. Abu Dawud).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Berdiri sesaat di jalan Allah lebih baik daripada shalat malam pada malam Lailatul-Qadar di depan Hajar Aswad.” (H.r. Ibnu Hibban).
Dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Setiap Nabi memiliki rahbaniyah (cara hidup kerahiban). Dan rahbaniyah umat ini adalah jihad fi sabilillah ‘azza wa jalla.” (H.r. Ahmad)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah – dan Allah lebih mengetahui siapa yang berjihad di jalan-Nya – seperti orang yang terus berpuasa, shalat malam, selalu dalam keadaan khusyu’, ruku’, dan sujud.” (H.r. Nasa’i).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah seperti orang yang selalu berpuasa, shalat malam, dan tunduk kepada ayat-ayat Allah. Tidak pernah jemu untuk berpuasa dan bershadaqah sampai orang yang berjihad kembali pada keluarganya.” (H.r. Ibnu Hibban).
Dari Abnu ‘Abbas r.hum., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Jika kalian diminta berangkat (berjihad), maka berangkatlah!” (H.r. Ibnu Majah)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a., dari Nabi saw., bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Hai Abu Sa’id, barangsiapa ridha Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabinya, ia wajib mendapatkan surga.” Maka Abu Sa’id heran terhadap hal itu dan ia berkata, “Wahai Rasulullah, ulangilah sabdamu itu untukku.” Lantas beliau mengulanginya dan bersabda, “Ada hal lain yang karenanya seorang hamba diangkat 100 derajat di surga. Jarak setiap dua derajat seperti jarak antara langit dan bumi.” Abu Sa’id bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah, jihad fi sabilillah.” (H.r. Muslim).
Dari Abu Qirshafah r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda “Wahai manusia! Berhijrahlah kalian dan berpegang teguhlah pada Islam. Karena hijrah tidak akan pernah berhenti selama jihad masih ada.” (H.r. Thabrani, Majma’uz-Zawa’id).
Dari Khuraim bin Fatik r.a., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membelanjakan harta di jalan Allah, akan dicatat pahala untuknya 700 kali lipat.” (H.r. Tirmidzi)
Dari Mu’adz r.a., dari Rasulullah saw., beliau bersabda, “Sesungguhnya dzikir di jalan Allah dilipatgandakan 700 kali daripada membelanjakan harta di jalan Allah.” (Dalam riwayat Yahya: 7.000 kali lipat). (H.r. Ahmad).
Dari Mu’adz Al-Juhani r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca 1000 ayat di jalan Allah, Allah akan mencatatnya bersama para Nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih.” (H.r. Hakim).
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Tidak akan berkumpul debu fi sabilillah ‘azza wa jalla dan asap neraka jahanam dalam kedua lubang hidung seorang muslim selamanya.” (H.r Nasa’i)
Dari Abu Umamah Al-Bahili r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Jika seseorang wajahnya terkena debu fi sabilillah, niscaya Allah akan menyelamatkan wajahnya itu pada Hari Kiamat. Dan jika seseorang dua telapak kakinya terkena debu fi sabilillah, niscaya Allah akan menyelamatkan kedua telapak kakinya itu dari api neraka pada hari Kiamat.” (H.r. Baihaqi, Syu’abul-Iman)
Dari Anas r.a., ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sekali perjalanan pagi ataupun sore hari di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (H.r. Bukhari)
Dari ‘Utsman bin ‘Affan r.a., ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda , ‘Satu hari di jalan Allah lebih baik daripada 100 hari di tempat lain.” (H.r. Nasa’i)
Dari Ali r.a., ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Jika diantara kami terjadi suatu masalah, yang tidak ada penjelasan tentang perintah atau larangan mengenainya, apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Beliau menjawab, ‘Bermusyawarahlah dengan para ulama dan para ‘abid tentang masalah tersebut. Jangan kalian hanya menggunakan pendapat orang tertentu saja dalam masalah tersebut.” (H.r. Thabarani, Majma’uz-Zawa’id)
Dari Ibnu ‘Abbas r.hum., ia berkata, “Ketika turun ayat ini: Wa syawirhum fil amri (Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam semua urusan), Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya tidak butuh pada mereka berdua, akan tetapi Allah menjadikan musyawarah sebagai rahmat bagi umatku. Barangsiapa di antara mereka bermusyawarah, maka ia tidak akan kehilangan petunjuk dan barangsiapa di antara mereka meninggalkan musyawarah maka ia akan selalu menemui kesulitan.” (H.r. Baihaqi)
Banyak sekali Hadist-hadist mengenai masalah Jihad dan keutamaannya. Dapat dibaca pada buku "Muntakhab Ahadits" yang disusun kembali oleh: Syeikh Maulana Muhammad Sa'ad al-Kandahlawi.